DreadOut: Menonton Teror Hantu Anti Teknologi
DreadOut, film horor thriller garapan Kimo Stamboel, hadir sebagai film Indonesia pertama yang diadaptasi dari sebuah permainan video. Mengusung tema petualangan supernatural, film ini mengikuti sekelompok siswa SMA yang tanpa sengaja membuka gerbang menuju dunia gaib dan harus berhadapan dengan makhluk-makhluk supranatural. Dengan memanfaatkan teknologi, mereka berusaha bertahan hidup dari ancaman yang mengintai.
Mencari Gangguan Ghaib
Film ini bermula dari sekelompok remaja yang berencana melakukan uji nyali di sebuah gedung tua dan menyiarkan aksinya secara langsung demi popularitas. Namun, upaya mereka terhalang oleh seorang satpam yang melarang mereka masuk. Tak kehilangan akal, mereka mengajak Linda (Caitlin Halderman) untuk membujuk sang satpam hingga akhirnya mendapat izin.
Di dalam gedung, mereka mengabaikan larangan yang telah diberikan dan menemukan sebuah ruangan terlarang. Di dalamnya, mereka mendapati perkamen kuno dengan tulisan aksara Sunda yang hanya bisa dibaca oleh Linda. Tanpa menyadari konsekuensinya, Linda membacakan teks tersebut hingga tuntas. Seketika, fenomena aneh terjadi, lampu padam, serangga bermunculan, dan sebuah portal terbuka di bawah mereka, menyeret mereka ke dunia lain yang penuh kengerian.
Terperangkap di dimensi asing, mereka harus melawan makhluk gaib yang merasa terusik oleh keberadaan mereka. Ketegangan memuncak ketika teman-teman Linda ditawan oleh salah satu hantu yang dendam karena Linda telah membunuh adiknya. Kemarahan sang hantu semakin membara setelah Beni (Irsyadillah) berusaha mengambil keris miliknya. Perjuangan mereka mencapai klimaks saat Linda berusaha menyelamatkan teman-temannya dan mengalahkan hantu tersebut. Portal akhirnya tertutup saat adzan Subuh berkumandang, tetapi dengan konsekuensi yang berat, Beni terjebak selamanya di dunia gaib.
Mistisme dan Teror Digital
DreadOut bukan sekadar film horor yang mengandalkan jumpscare atau aksi supranatural semata, tetapi juga menyajikan kritik sosial yang relevan dengan kehidupan modern. Erik (Jefri Nichol) dan kawan-kawannya mencerminkan obsesi masyarakat terhadap ketenaran digital. Demi menarik perhatian, mereka bahkan rela memalsukan penampakan hantu, sebuah sindiran terhadap tren konten sensasional yang marak di media sosial.
Selain itu, film ini juga menyinggung bagaimana generasi muda semakin jauh dari warisan budaya leluhur. Hal ini tergambar melalui ketidakmampuan Erik dan teman-temannya membaca aksara Sunda pada perkamen, yang akhirnya hanya mereka abadikan melalui kamera ponsel. Pilihan sutradara untuk menampilkan unsur budaya Sunda dalam dunia gaibnya pun menarik. Rumah, pakaian, dan kesenian tradisional menjadi bagian integral dari estetika film, memperkuat nuansa lokal yang membedakannya dari film horor Indonesia kebanyakan.
DreadOut menghadirkan mitologi lokal dengan sentuhan modern, menjadikannya lebih dekat dengan realitas masa kini. Salah satu aspek menarik dalam film ini adalah bagaimana teknologi menjadi elemen pertahanan dalam menghadapi makhluk gaib. Senter ponsel Linda menjadi senjata utama melawan hantu, tetapi di sisi lain, para makhluk halus menolak keberadaan teknologi modern. Mereka tidak hanya merasa terganggu oleh cahaya senter, tetapi juga seolah menegaskan bahwa dunia mistis masih memiliki kekuatannya sendiri di tengah era digitalisasi.
Langkah Berani yang Memerlukan Pengembangan
Di balik segala kelebihannya, DreadOut tak lepas dari beberapa kelemahan. Performa karakter Alex (Cicio Manassero) terasa kurang menonjol dibandingkan dengan para pemeran lainnya, membuat interaksinya dengan tokoh lain terkesan kurang seimbang. Beberapa dialog juga terdengar kurang alami dan dipaksakan, terutama penggunaan kata “Anying” yang terlalu sering diulang hingga terdengar kaku dan mengganggu imersi penonton.
Sebagai film horor Indonesia pertama yang diadaptasi dari gim, DreadOut adalah langkah berani dalam industri film nasional. Dengan menggabungkan unsur budaya lokal, kritik sosial, dan ketegangan supernatural, film ini berhasil menghadirkan pengalaman yang berbeda dari film horor kebanyakan. Meski masih memiliki beberapa kekurangan dalam eksekusi dialog dan karakter, film ini tetap layak diapresiasi sebagai upaya memperkaya narasi horor Indonesia dalam medium yang lebih luas.
(Tulisan ini telah diunggah pada tahun 2019 melalui blog pribadi, kemudian diparafrase tanpa mengubah konteks kontennya pada tahun 2025)