
Indonesia mengenal film jauh sebelum hari ini kita merayakan Hari Film Nasional setiap 30 Maret. Tanggal itu memang penting—sebagai penanda dimulainya pengambilan gambar film Darah dan Doa (1950) karya Usmar Ismail. Tapi sesungguhnya, perjalanan sinema di Nusantara sudah dimulai jauh sebelumnya, ketika layar lebar pertama kali menyala di tengah keremangan malam Batavia. Awalnya hadir sebagai hiburan eksklusif bagi kalangan Eropa pada masa kolonial, film perlahan menemukan jalannya ke hati masyarakat Indonesia. Dari gambar bisu yang bergetar, propaganda perang, hingga bangkitnya identitas sinema nasional—kisahnya tidak pernah sederhana, tapi selalu penuh warna.
Jejak Pertama di Masa Kolonial

Awal abad ke-20 menandai kehadiran sinema di Hindia Belanda. Film-film yang diputar bukanlah buatan lokal, melainkan hasil produksi Eropa dan Amerika. Sekitar tahun 1900, bioskop keliling mulai berkelana ke berbagai kota, menyajikan gambar bergerak yang membuat penontonnya terpukau. Tak lama, sebuah bioskop menetap pertama bernama Gambar Idoep dibuka di kawasan Tanah Abang oleh pengusaha Tionghoa-Peranakan. Namun, aksesnya masih sangat terbatas. Menonton film kala itu adalah kemewahan: tiket mahal, layar yang sering berkedip, dan kualitas gambar yang jauh dari kata sempurna. Tapi meski penuh keterbatasan, bioskop menjadi jendela baru untuk melihat dunia, dan keingintahuan publik mulai tumbuh.

Film lokal pertama lahir pada 1926 lewat tangan sutradara Belanda yang mengadaptasi kisah rakyat Sunda menjadi film bisu Loetoeng Kasaroeng. Kehadiran film bicara kemudian menyusul sekitar tahun 1931, salah satunya Boenga Roos dari Tjikembang karya The Teng Chun—sutradara berdarah Tionghoa yang menjadi pionir perfilman pribumi. Dunia sinema pun bergerak cepat.

Di pertengahan 1930-an, jurnalis Belanda Albert Balink bekerja sama dengan Wong Bersaudara untuk memproduksi film berbiaya besar seperti Pareh (1936) dan Terang Boelan (1937). Berkat sentuhan budaya lokal, iringan musik kroncong, dan kualitas gambar yang lebih baik, film-film ini mulai menarik hati penonton dari kalangan pribumi.
Masa Suram di Bawah Pendudukan Jepang
Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, industri film nyaris lumpuh. Bioskop dijadikan alat propaganda militer: berita perang dan film produksi Jepang wajib ditayangkan di seluruh jaringan bioskop. Studio lokal ditutup, para pekerja film dibubarkan, dan hanya segelintir orang yang dipaksa tetap berkarya dalam koridor propaganda. Film buatan Jepang kala itu memakan biaya besar, tapi minim kandungan estetika dan narasi. Masa ini menjadi salah satu titik terendah dalam sejarah sinema Indonesia, ketika layar gelap lebih lama dari biasanya.
Cahaya Baru Pasca-Kemerdekaan
Layar bioskop kembali menyala terang setelah kemerdekaan diproklamasikan. Momentum penting datang pada 30 Maret 1950, ketika Usmar Ismail—yang kemudian dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia—memulai syuting Darah dan Doa. Film ini bukan hanya tentang perjuangan prajurit, tapi juga tentang perjuangan membangun sinema nasional yang benar-benar “Indonesia”. Inilah titik awal bangkitnya identitas film lokal, dan sejak itu, tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Film Nasional.


Tak lama kemudian, para pemilik bioskop mendirikan PBBSI (Persatuan Pemilik Bioskop Seluruh Indonesia) untuk memperkuat distribusi film nasional. Dukungan dari pemerintah dan para pegiat film menghasilkan karya-karya penting seperti Lewat Djam Malam (1954) oleh Wim Umboh dan Tiga Dara (1956) oleh Usmar Ismail. Namun, dinamika politik turut memengaruhi layar. Era Demokrasi Terpimpin di tahun 1960-an membuat tema-tema film semakin dikontrol. Sensor ketat diberlakukan, dan isu politik menjadi bahan bakar atau pembatas narasi film.
Dari Kejayaan ke Mati Suri

Era 1970–1980-an dianggap sebagai masa kejayaan sinema Indonesia. Film lokal menjamur, aktor-aktris menjadi ikon, dan televisi mulai ikut menyiarkan ulang karya-karya layar lebar. Di sisi lain, popularitas televisi dan kemunculan videotape perlahan menggerus jumlah penonton bioskop. Meski begitu, film-film legendaris tetap lahir, seperti Pengabdi Setan (1980) dan Si Doel Anak Sekolahan (1980).
Namun memasuki akhir 1990-an, industri film terkena hantaman krisis ekonomi Asia 1997–1998. Produksi mandek, bioskop banyak yang tutup, dan publik lebih memilih tayangan televisi atau film luar negeri. Sinema Indonesia mengalami mati suri—suatu masa senyap yang memunculkan kerinduan akan cerita-cerita dari tanah sendiri.
Layar sinema Indonesia telah melalui babak panjang—dari gelegar proyektor bisu di masa kolonial, sunyinya masa pendudukan, hingga riuhnya film-film besar pasca-kemerdekaan. Namun, perjalanan ini belum usai. Apa yang terjadi setelah masa mati suri di akhir 1990-an? Bagaimana generasi baru sineas menghidupkan kembali film nasional hingga mampu bersaing di festival-festival internasional? Di balik layar industri modern yang semakin digital dan dinamis, ada cerita lain yang menanti untuk dibuka.
Nantikan kelanjutannya—karena bagian paling mengejutkan mungkin justru dimulai di era yang paling dekat dengan kita. Cek artikel terbaru di sini.