Review Film Luruh (2025)

Table of Contents

!SPOILER ALERT! Salah satu film yang nyoba nyorotin isu sosial adalah Luruh (2025), film pendek garapan M. Rizky Salman yang ditulis sekaligus direkam dalam arahan sinematografi Raihan Wafi Ramadhan. Film ini ceritain tentang Bayu, siswa SMA yang nyari ketenangan di tengah konflik keluarganya, tapi malah kena perundungan yang makin bikin situasinya buruk. Dalam usahanya buat nemuin kedamaian, dia ketemu Ayu, sosok yang jadi penyemangat dan dukungan moral.


Nonton dan Ngetawain Perundung(an)

Ngeliat Bayu di Luruh ngingetin kita sama karakter Rara di Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan (2019) dan Sandra di Backstage (2021), yang sama-sama jadi korban ketidakadilan sosial karena nggak sesuai sama standar yang diterima masyarakat. Ketiga film ini ngebangun konstruksi kalau korban perundungan seringnya dari kelompok yang dianggap lemah atau beda dari norma sosial yang dominan.

Bayu digambarin sebagai siswa pendiem dengan penampilan rapi; seragam lengkap, dasi kepasang sempurna, rambut tersisir rapi, dan sikap yang kalem. Ironisnya, justru karakteristik ini yang bikin dia jadi sasaran perundungan. Sementara itu, pelaku perundungan digambarin dengan atribut yang kontras; seragam berantakan, baju dikeluarin, lengan baju digulung, tanpa dasi, pake cincin, dan ngerokok di sekolah. Konstruksi visual ini langsung ngasih kode ke penonton tentang siapa yang jadi korban dan siapa yang jadi pelaku. Alih-alih ngelawan stereotip sosial, Luruh malah ngafirmasi konstruksi lama bahwa korban perundungan itu sosok yang rapi dan pasif, sementara pelaku adalah mereka yang keliatan nakal.

Dalam naskahnya, Wafi nulis kalau Bayu pergi ke toilet dan tanpa sengaja ketemu dua siswa yang lagi ngerokok di sana. Tanpa alasan yang jelas, mereka langsung ngeintimidasi Bayu. Nggak ada motif kuat yang bikin mereka ngelakuin itu, selain fakta kalau Bayu keliatan kayak seseorang yang pantas dirundung. Ini makin nekenin narasi kalau pelaku perundungan cuma bertindak atas dasar ketidaksukaan ke orang yang beda dari mereka, tanpa ada eksplorasi lebih jauh tentang dinamika psikologis atau sosial di balik perilaku itu.

Selain itu, film ini juga ngebangun stereotip kalau pelaku perundungan itu “anak mami”. Salah satu perundung digambarin sebagai anak yang terlalu dimanja orang tuanya, ngingetin kita sama karakter Sadam di Petualangan Sherina (2000). Di film itu, Sadam awalnya digambarin sebagai sosok kasar dan dominan, tapi ternyata dia anak yang cengeng pas dihadapkan sama kesulitan. Dengan masukin elemen ini, Luruh bukan cuma negesin stereotip korban, tapi juga secara implisit ngetawain para pelaku perundungan.

Ngeliat Korban Lewat Kamera

Framing di Luruh punya peran penting buat bangun empati ke Bayu. Sepanjang film, Bayu sering ditempatin di tengah frame dalam komposisi medium-close up, nekenin kesendiriannya. Teknik frame within a frame juga dipake buat makin kuatkin kesan terkekang dan keterasingan yang dia alamin. Pas Bayu ada di ruang guru, di lorong sekolah, atau di kantin pas lagi dirundung, dia selalu diposisikan di sudut kanan frame, ngadep ke kanan, seolah nggak punya ruang buat maju. Keberadaannya yang stuck ini jadi representasi visual dari isolasi yang dia rasain.

Sebaliknya, momen kebebasan Bayu divisualisasiin lewat perubahan komposisi shot. Pas bareng Ayu di UKS, framing yang lebih luas ngasih kesan lega dan aman. Puncaknya terjadi pas Bayu ada di laut; ruang yang terbuka ngasih simbol kebebasan yang akhirnya dia dapetin. Sayangnya, narasi film nggak sepenuhnya ngimbangin pendekatan visual ini dengan eksplorasi karakter yang lebih dalem. Kehadiran Ayu di cerita malah makin negesin ketidakberdayaan Bayu. Dia dijadiin sebagai penyelamat yang ngasih perlindungan, bukan sebagai karakter yang berkembang secara mandiri. Alih-alih ngadepin konfliknya sendiri, Bayu malah digambarin bergantung ke dukungan eksternal buat keluar dari situasi sulit.

Resolusi yang Terlalu Simpel

Penyelesaian konflik di Luruh kerasa terlalu gampang. Bayu yang dari awal nggak berdaya, tiba-tiba bisa ngalahin dua pelaku perundungan cuma dengan satu pukulan. Transformasi ini bikin kita bertanya-tanya: kenapa Bayu nggak ngelawan dari awal? Jawaban paling gampang adalah karena kebutuhan dramatis, di mana protagonis baru bisa bangkit di momen klimaks buat ngalahin antagonis.

Tapi, dalam konteks realitas, solusi yang dihadirin kerasa terlalu simpel. Perundungan bukan masalah yang bisa selesai cuma dengan satu aksi balasan, dan dalam banyak kasus, pelaku nggak langsung berubah cuma karena sekali dikonfrontasi. Fakta kalau dua perundung ini tiba-tiba hilang setelah dikalahin juga ngereduksi pesan film, seolah perundungan bisa selesai cuma dengan satu konfrontasi fisik tanpa dampak lanjutan.


“Luruh” adalah film yang memiliki pendekatan visual yang kuat dalam menggambarkan perasaan terisolasi seorang korban perundungan. Namun, dari segi narasi, film ini masih terjebak dalam stereotip lama yang membedakan secara hitam-putih antara korban dan pelaku, tanpa memberikan sudut pandang yang lebih mendalam.

Pada akhirnya, Luruh ninggalin pertanyaan lebih besar tentang gimana perundungan seharusnya direpresentasiin di media. Haruskah kita nerima narasi kalau korban perundungan selalu seseorang yang baik-baik dan lemah? Apakah perundungan emang cuma dilakukan oleh mereka yang keliatan nakal? Dan yang paling penting, bener nggak kalau kekerasan itu solusi dari perundungan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *