Peran Diegetic & Non-Diegetic Sound dalam Film

Table of Contents

Diegetic dan non-diegetic sound adalah dua istilah penting yang membedakan suara yang ada di dunia cerita dengan suara yang hanya ditujukan untuk penonton. Meski terdengar teknis, konsep ini sederhana dan dapat membantu memahami bagaimana emosi serta informasi bekerja dalam sebuah adegan. Suara dalam film tidak sekadar pelengkap visual, tetapi mampu membangun atmosfer, menuntun emosi, dan memberi petunjuk tersembunyi bagi penonton.

Apa Itu Diegetic Sound?

Diegetic sound adalah suara yang berasal langsung dari dunia cerita film itu sendiri. Dengan kata lain, suara ini bisa didengar baik oleh penonton maupun oleh karakter dalam film. Semua suara yang realistis dan logis ada dalam ruang cerita termasuk dalam kategori ini.

Contoh paling jelas adalah dialog antar karakter. Saat dua tokoh berbincang di sebuah kafe, penonton mendengar suaranya, begitu juga karakter lain di sekitar mereka. Begitu juga dengan suara langkah kaki, deru mobil di jalan, atau musik dari radio yang sengaja diputar dalam adegan.

Ambil contoh dari film La La Land (2016). Saat Mia dan Sebastian ngobrol di sebuah kafe, kita bisa mendengar dentingan gelas, suara pintu yang terbuka, hingga percakapan samar pengunjung lain. Semua itu termasuk diegetic sound karena memang menjadi bagian nyata dari dunia film dan turut memperkuat realisme adegan.

Ciri-ciri diegetic sound:

  1. Berasal dari objek, aksi, atau sumber yang ada di dalam cerita.
  2. Bisa muncul dari on-screen (terlihat di layar) maupun off-screen (tidak terlihat, tapi masih masuk akal berada di dunia cerita).
  3. Didengar oleh karakter dalam film.

Selain itu, ada juga bentuk diegetic sound yang cukup menarik, yaitu internal diegetic sound. Ini adalah suara yang datang dari pikiran atau batin karakter, misalnya suara hati atau monolog dalam kepala. Penonton bisa mendengarnya, tapi suara itu hanya eksis di dalam benak karakter, bukan di lingkungan fisik.

Apa Itu Non-Diegetic Sound?

Kalau diegetic sound berasal dari dunia film, non-diegetic sound justru kebalikannya. Suara ini tidak berasal dari ruang cerita dan hanya bisa didengar oleh penonton—karakter dalam film sama sekali tidak menyadarinya. Fungsi non-diegetic sound biasanya untuk memberi arahan emosional, memperkuat mood, atau menambahkan informasi yang tidak bisa tersampaikan lewat gambar.

Contoh paling umum adalah musik latar atau background score. Bayangkan adegan ikonik di Inception (2010) ketika dunia terasa melambat—musik dramatis karya Hans Zimmer langsung menggetarkan emosi penonton. Karakter di dalam film tidak mendengar musik itu, tapi kita sebagai penonton merasakannya.

Selain musik, contoh lain adalah narasi voice-over. Misalnya di Fight Club (1999), tokoh utama sering memberikan komentar lewat narasi yang hanya ditujukan untuk penonton. Karakter lain di film tidak mendengarnya, tapi bagi penonton, voice-over ini penting untuk memahami isi pikiran tokoh.

Ciri-ciri non-diegetic sound:

  1. Tidak berasal dari dunia cerita film.
  2. Tidak bisa didengar oleh karakter.
  3. Biasanya berfungsi memperkuat emosi, memberi petunjuk, atau mengarahkan interpretasi penonton.

Fungsi Suara dalam Penceritaan

Kalau ditanya mana yang lebih penting antara diegetic dan non-diegetic sound, jawabannya adalah keduanya sama-sama penting. Justru kekuatan sebuah film sering lahir dari perpaduan yang seimbang antara keduanya.

Diegetic sound membuat dunia film terasa hidup dan realistis. Tanpa suara langkah, desahan napas, atau hiruk-pikuk kota, sebuah adegan bisa terasa hambar. Penonton butuh detail kecil ini untuk merasa “terjebak” di dalam cerita.

Di sisi lain, non-diegetic sound berperan besar dalam mengatur emosi. Dengan musik latar, adegan biasa bisa terasa menyentuh, menegangkan, atau heroik. Tanpa score, adegan klimaks dalam film epik mungkin tidak akan terasa sedramatis itu.

Contohnya bisa kita lihat di Jurassic Park (1993). Saat T-Rex muncul, raungan hewan itu (diegetic) langsung membuat penonton tegang. Namun, yang membuat momen itu benar-benar epik adalah musik orkestra John Williams (non-diegetic) yang mengiringinya. Gabungan keduanya menciptakan pengalaman sinematik yang tak terlupakan.

Menyadari “Permainan Suara”

Bagi seorang filmmaker, memahami perbedaan ini sangat penting. Kalau ingin membuat adegan terasa natural dan realistis, tentu diegetic sound harus diperkuat. Tapi kalau ingin menggiring perasaan penonton naik-turun, non-diegetic sound bisa jadi senjata utama.

Bahkan, ada juga film yang dengan sengaja mengaburkan batas antara keduanya. Misalnya, sebuah lagu yang awalnya terdengar sebagai musik latar (non-diegetic), lalu kamera beralih memperlihatkan seorang karakter sedang memutar radio—dan seketika lagu itu berubah menjadi diegetic. Teknik semacam ini sering dipakai untuk memberi kejutan atau mempermainkan persepsi penonton.

Baca juga: 6 Teknik Dasar Sound Mixing dalam Membuat Film.

Pada akhirnya, memahami diegetic dan non-diegetic sound bukan cuma soal teori film, tapi juga cara kita menikmati karya sinema dengan lebih sadar. Setiap suara punya peran, entah membuat dunia terasa nyata atau menggiring emosi kita. Semakin peka telinga kita, semakin kaya pula pengalaman menonton yang bisa kita rasakan.

Bagi pembuat film, pemahaman tentang dua jenis suara ini bisa jadi kunci untuk menghadirkan pengalaman sinematik yang lebih kuat. Memadukan diegetic dan non-diegetic sound dengan tepat bisa membuat penonton bukan hanya menonton, tetapi juga benar-benar merasakan cerita yang dibangun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Got a film story to share? Submit your article, case study, or review now!