Review Film Ash (2025)

Table of Contents

Cahaya Kosmik yang Kehilangan Arah

Ash (2025) membuka dirinya sebagai film fiksi ilmiah dengan potensi besar. Sejak menit pertama, ia menggoda dengan misteri: seorang perempuan bernama Riya terbangun sendirian di planet asing yang suram. Fasilitas tempat ia berada dipenuhi darah dan mayat, sementara ia sendiri tak tahu apa yang terjadi. Penonton pun langsung diajak masuk ke dalam situasi penuh kegelisahan, seolah-olah sedang disiapkan menuju thriller psikologis yang intens atau petualangan penuh teka-teki.

Beberapa menit awalnya memang menjanjikan. Visual yang lembab dan dibasahi cahaya neon, ruang-ruang sempit yang membuat napas terasa pendek, serta atmosfer mencekam mengingatkan pada film seperti Life (2017) atau Alien. Ada kesan bahwa ini akan menjadi pengalaman sinematik yang menegangkan, dengan dunia asing yang hidup dan berbahaya.

Namun, di balik kemasan visual yang kuat, muncul kegelisahan yang lebih dalam: apakah cerita dan relasi manusianya cukup kuat menopang semua itu? Dalam banyak film fiksi ilmiah modern, visual sering kali menjadi pusat perhatian—teknologi memungkinkan dunia yang sepenuhnya imajinatif. Tapi ketika substansi tak sekuat tampilan, film mudah tergelincir menjadi parade estetika tanpa jiwa. Sayangnya, Ash secara perlahan jatuh ke dalam jebakan yang sama. Terlihat rating yang diberikan 11 ribu penontonnya di platform IMDb hanya 4.6/10 untuk film ini. Berikut ulasannya buat kamu:


Chemistry yang Gagal

image 22 6
sumber: imdb.com

Masalah mendasar Ash mulai tampak sejak kemunculan Brion (Aaron Paul), satu-satunya karakter lain yang memberi Riya (Eiza GonzƔlez) teman bicara. Di titik ini, semestinya ada dinamika menarik yang terbangun, terutama karna ruang cerita yang terbatas itu ngebutuhin kekuatan hubungan antar karakter sebagai poin penting narasi. Sayangnya harapan itu ga ada disepanjang ceritanya.

Dialog antara Riya dan Brion kerasa banget kakunya, kayak hasil metik dari naskah lama. Chemistry mereka flat, ga berkembang sama sekali meski keduanya lagi berada disituasi yang menuntut untuk ketergantungan secara emosional. Saat di momen genting—yang mestinya jadi titik balik—ga ada percikan yang membuat kita peduli akan keterikatan mereka. Mereka malah kayak dua orang asing yang kebetulan berada di adegan yang sama, sama sekali ga nunjukin dua jiwa yang sedang berjuang bersama di tengah kehancuran.

Dibanjiri Dialog, Ditinggalkan Imajinasi

image 22 7
sumber: imdb.com

Dalam genre fiksi ilmiah, prinsip ā€œshow, don’t tellā€ semestinya menjadi standar utama. Sayangnya, Ash justru memilih sebaliknya. Alih-alih membiarkan penonton menyerap dunia dan konflik melalui pengalaman visual, film ini sibuk menjelaskan segalanya lewat dialog dan kilas balik. Hasilnya, imersi pun terkikis.

Ketika karakter memberitahu kita apa yang harus dirasakan alih-alih menunjukkannya melalui tindakan atau atmosfer, proses penemuan yang mestinya menjadi bagian penting dari pengalaman menonton jadi terasa dipaksakan. Kita seperti diajak tur museum yang dipandu lewat pengeras suara: setiap detail diberi penjelasan, tapi kehilangan ruang untuk interpretasi atau kejutan.

Monotoni Visual dalam Fiksi Ilmiah

image 22 8
sumber: imdb.com

Satu lagi kekurangan fatal Ash adalah sempitnya dunia yang dibangun. Planet tempat cerita berlangsung tidak terasa sebagai ekosistem yang hidup. Yang tampak hanyalah lorong-lorong gelap yang seragam dan ruang-ruang sempit tanpa nuansa atau pun keberagaman visual.

Potensi besar dari latar cerita yang seharusnya mampu menggugah rasa ingin tahu justru tertutup oleh desain set yang monoton. Tidak ada skala, tidak ada rasa keterasingan yang membekas. Dunia ini tak pernah benar-benar terasa bisa dihuni, apalagi dieksplorasi.

Bayangan Film Lain yang Terlalu Kuat

image 22 11
sumber: imdb.com

Sepanjang nonton Ash, perbandingan dengan Life (2017) tak terelakkan. Keduanya sama-sama bertumpu pada ketegangan dalam sebuah ruang terbatas dan karakternya yang saling menghadapi tekanan. Namun, jika Life mampu mempertahankan ketegangan hingga akhir, Ash justru kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Misteri utama terungkap terlalu dini, ditambah ga ada lapisan tematik atau emosional yang cukup kuat untuk menopangnya. Yang tersisa hanya pengulangan konflik tanpa perkembangan.

Akting Tak Cukup Menyelamatkan

image 22 12
sumber: imdb.com

Meski narasi Ash banyak menyisakan kekosongan, penampilan akting para pemain layak diapresiasi. Aaron Paul berhasil menyuntikkan nyawa pada karakter Brion. Ekspresinya menyiratkan kelelahan, rasa bersalah, dan kerentanan yang tidak tertulis di naskah. Sementara itu, Eiza GonzĆ”lez mencoba membentuk sosok Riya sebagai karakter yang rapuh tapi tangguh—meski latar belakang karakternya kurang tergali.

Namun sebagus apapun akting mereka, tanpa dukungan naskah yang kokoh dan relasi antar karakter yang kuat, performa ini hanya mampu membawa film sejauh tertentu.

Cantik di Luar, Hampa di Dalam

image 22 14
sumber: imdb.com

Ash emang ga bisa dibilang sepenuhnya gagal. Tata sinematografi dan desain suara cukup kuat buat ngebangun atmosfer yang khas. Pemanfaatan cahaya neon dan adegan body horror disajikan dengan cukup efektif. Namun ketika elemen visual tidak diimbangi penceritaan yang mendalam, kesan yang muncul hanyalah gaya tanpa substansi.


Estetika Tak Mampu Menopang Cerita

Ash memulai perjalanannya dengan penuh harapan—dari atmosfer yang menjanjikan, misteri yang menggoda, hingga visual yang mengesankan. Namun semua itu perlahan memudar. Relasi karakter yang datar, penceritaan yang terlalu menjelaskan, serta dunia yang tak tergarap membuat film ini kehilangan arah sebelum mencapai klimaksnya. Film ini mengandung potensi besar, namun seperti abu yang tersapu angin, kilau Ash memudar sebelum sempat benar-benar menyala.

Kalau disuruh kasih rating buat Ash, kamu bakal kasih berapa? Share di kolom komentar ya!

Baca lebih banyak ulasan film di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *