Review Film Pengepungan di Bukit Duri (2025)

Table of Contents

Film Pengepungan di Bukit Duri jadi langkah baru yang cukup mengejutkan dari Joko Anwar setelah deretan film horor sukses yang melejitkan namanya. Bukan lagi bertema teror gaib atau makhluk halus, kali ini filmnya bercorak actionthriller yang penuh ketegangan dan brutalitas. Di proyek film ke-11 ini, ia berkolaborasi dengan Amazon MGM Studio dan berhasil menyajikan cerita yang berbeda dari biasanya. Film ini tayang serentak di bioskop Indonesia dari tanggal 17 April 2025, film ini membawa penonton ke tengah kekacauan Jakarta masa depan—dan pastinya bakal bikin kamu tegang dari awal sampai akhir. Udah nonton atau masih mikir-mikir?


Film Tentang Tahun 2027, tapi Sisipin Luka 1998

Dari awal, film ini udah terasa “beda”. Bukan karna genrenya, tapi keberaniannya Joko Anwar buat masukin isu kelam sejarah Indonesia di tahun 1998. Gokil sih, berani banget! hasilnya? Banyak reviewer sepakat kalau film ini layak disebut sebagai karya dengan “original idea” di tengah banjirnya film adaptasi dan remake yang lagi-lagi diambil dari thread Twitter.

Film ini berlatar di tahun 2027, di mana Jakarta digambarin lagi ada di ambang kritis—penuh konflik rasisme, kekerasan, dan kebencian. Suasananya? Mirip banget sama Gotham City-nya Batman dan Joker. Ceritanya sendiri fokus pada Edwin (Morgan Oey), seorang pria yang menyamar jadi guru demi mencari ponakannya. Pencariannya membawanya ke SMA Bukit Duri—tempat para siswa buangan.

Tapi masalahnya nggak sesederhana itu. Edwin harus berhadapan dengan Jefri (Omara Esteghlal), siswa nakal sekaligus pemimpin geng yang… yah, sebut saja “pemburu babi”—simbol kebencian rasial yang cukup kuat di film ini. Ketegangan memuncak saat Edwin dan beberapa guru serta siswa lain dikepung saat sedang menghias kelas. Dari situ, cerita berubah jadi penuh darah, kemarahan, dan adegan-adegan brutal yang bikin penonton meringis.

Bikin Tegang tapi Kureng Greget

Nonton film ini kayak naik roller-coaster tanpa rem. Setiap detik penuh ketegangan—serius, napas kamu bisa ngos-ngosan. Kalau kamu suka adrenalin non-stop, pasti betah. Tapi… ada tapinya nih, jalan ceritanya sering banget ketebak, dan ending-nya pun kurang nendang, malah terkesan buru-buru diselesaikan.. Jujur aja, pas credits mulai muncul, aku sempat nyeletuk, “Lho, udah? Itu aja?”

Karakter Pendukung, tapi Ga Dukung Filmnya

Edwin dan Jefri sebagai tokoh utama memang tampil memukau, nggak bisa dibantah. Tapi sayangnya, karakter-karakter pendukung terasa kayak figuran mewah—muncul, tapi nggak meninggalkan kesan. Kayak Bu Diana atau Rangga cuma keliatan sekadar “numpang lewat”, tanpa motivasi atau latar yang jelas. Padahal, dengan tema sosial seberat ini, akan lebih menarik kalau masing-masing karakter punya peran dan cerita yang kuat.

Tampilan Visual dan Mise en Scene: Mantap!

Di balik kelemahan naratifnya, Joko Anwar tetap jago dalam hal visual dan atmosfer. Gambaran Jakarta yang penuh kekacauan, jalanan yang porak-poranda, dan adegan perkelahian brutal—semuanya digarap serius dan detail. Lampu jalanan yang pecah-pecah, asap tebal, dan teriakan massa—semua digarap detil. Laga fisiknya terukur, brutal, tapi meyakinkan. Morgan Oey dan Omara Esteghlal benar-benar “menjual” emosi di adegan-adegan kunci. Plus, munculin wajah-wajah baru yang bikin segar.

Bukan Sekedar Buat Hiburan

Buat kamu yang suka film dengan pesan sosial, Pengepungan di Bukit Duri bisa jadi bahan diskusi yang menarik. Film ini nyentil soal urbanisasi, marginalisasi, dan rasisme yang masih relevan banget dengan kondisi Indonesia sekarang. Joko Anwar berhasil menyentuh sisi emosional dan menyuguhkan refleksi sosial lewat media hiburan. Jadi meskipun ceritanya kureng, setidaknya film ini tetap punya pesan yang kuat.


Film Pengepungan di Bukit Duri tetap layak kamu tonton—terutama buat kamu yang suka film aksi dengan nuansa lokal dan kritik sosial. Aku ingetin buat ga berharap se-epic Perempuan Tanah Jahanam atau ketegangan khas Pengabdi Setan, karna yang ini lebih fokus ke isu dan tensi aksi ketimbang cerita.

Catatan penting: film ini ga cocok ditonton semua umur. Banyak adegan kekerasan, kata-kata kasar, dan momen brutal yang bisa memicu trauma. Jadi pastiin nonton sesuai usia dan buat yang sesuai usianya siapin mentalnya ya!

Baca Review Film Horor lainnya disini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *