Review Film Portrait of God (2022)

Table of Contents

Portrait of God bakalan bikin Kamu ngerasa takut bukan soal adanya hantu, tapi karna ngeraguin hal-hal yang jadi kepercayaanmu selama ini. Film horor pendek ini hanya berdurasi tujuh menit—disutradarai oleh Dylan Clark dan rilis tahun 2022—bukan menyuguhin adegan seram ala-ala jumpscare. Justru sebaliknya, film ini hanya berlatar ruangan gelap berisi lukisan yang dipantulkan cahaya proyektor dan seorang wanita. Sebuah lukisan yang membuat seorang wanita itu jadi diuji keimanannya, goyah logikanya, dan hatinya diselimuti banyak keraguan.

Meskipun singkat, Portrait of God sukses mencuri perhatian karena keunik caranya dalam menyuguhkan tema spiritual bergenre horor psikologis. Film ini bukan horor klise yang jumpscare-nya ada setiap menit, tapi Kamu justru bakal dipaksa buat diem, merenung, dan ngerasain banyak kejanggalan. Filmnya dapet rating 7.4/10 dari dua ribu penontonnya di situs IMDb. Ini beberapa alasan Portrait of God harus masuk list para pecinta film horor!


Lukisan Kosong yang Bikin Pikiran Penuh

Filmnya ceritain Mia Reilly, seorang wanita muda yang religius. Judul filmnya berasal dari adegan tokoh utama yang lagi nyiapin tugas presentasi akademik soal lukisan misterius yang berjudul Portrait of God. Banyak pengunjung lukisannya bilang lukisan itu kosong, tapi beberapa diantaranya bilang ada ngeliat sesosok yang misterius di lukisan itu. Hal ini bikin Mia mulai natap lukisannya jadi lebih intens, sambil berharap hal ini bisa memperkuat pengalaman spiritualnya terhadap Tuhan. Alih-alih tenang nan tenteram, yang Mia rasain justru sebaliknya: ngerasa terganggu, dipenuhi ketakutan, bahkan mentalnya dibuat goyah.

Kamu bakal dibuat ngerasain huru-hara perasaan Mia saat perjalanan spiritual dia justru meruntuhkan kepercayaannya. Film ini sukses sampein emosi yang kompleks dari usaha seorang hamba dalam mendekatkan diri, memberikan pesan yang mendalam tentang usaha mencari ketenangan dengan berujung pada hal sangat menakutkan. Lewat tokoh Mia, penonton bakal ngerasain tarik-ulur antara iman, apa yang kita lihat, dan keraguan yang muncul di dalam hati. Yang bikin film ini mengesankan adalah gimana cara ngegambarin proses runtuhnya kepercayaan Mia yang bukan lewat logika atau debat agama, tapi justru lewat pengalaman pribadi yang mistis dan di luar nalar.

Merinding tanpa Jumpscare

Salah satu hal paling mencolok dari film ini adalah cara Dylan Clark ngebangun rasa takut lewat hal-hal yang simpel dengan hasil maksimal. Dia ga pake banyak suara keras atau adegan dikagetin-kagetin hantu kayak film horor pada biasanya. Justru dia numbuhin atmosfer horor lewat konsep yang sederhana—ruangan gelap dan cahaya dari proyektor—dan menyegarkan. Bayangin aja, kamu cuma dikasih liat adegan seorang wanita yang duduk di ruangan gelap dan cuma ada satu cahaya redup dari proyektor—ini bikin suasana sunyi dan rasa mencekam yang kuat.

Sudut pengambilan gambar yang aneh dan sempit bikin penontonnya berasa kayak terkurung di ruangan itu bareng Mia, si tokoh utama. Terasa pengap, sesak, dan pasti bikin ga nyaman—pas banget buat gambarin kondisi mental Mia yang ga stabil dan perasaan asing sama sekelilingnya. Dalam salah satu wawancara, Clark bilang dia pengin bikin sausana tegangan dari sebuah ruang sempit dan gelap, juga main di ide bahwa ga semua orang bisa lihat ‘sosok’ dalam lukisan itu. Ini bikin penonton ikutan mikir: “Apa yang aku lihat barusan beneran ada, atau cuma ada di kepala?” Nah, ketika muncul rasa takut dan keraguan dalam satu, inilah elemen horor psikologis yang terlihat jelas.

Perjalanan Spiritual Justru Menghilangkan Ketenangan

Portrait of God itu ga cuma bikin merinding dari sisi visual, tapi dari konsep yang dibawa juga ti-o-pi banget. Film ini ngajak kita mikir ulang tentang gimana sih sebenarnya manusia melihat dan membayangkan Tuhan. Biasanya, kita mikir Tuhan itu penuh cinta, penuh cahaya, dan pemberi ketenangan. Tapi difilm ini malah kasih gambaran sebaliknya—kontak langsung sama sang Ilahi justru bisa jadi pengalaman yang nyeremin banget, bahkan terasa ga manusiawi.

Tuhan di film ini ga digambarkan sebagai sosok penyayang atau damai, tapi lebih kayak entitas yang ga bisa dipahami akal manusia. Kehadirannya justru bikin pikiran kacau, logika goyah, dan realitas jadi kabur. Ada satu komentar penonton yang bilang, “the god-touched, holy, prophets should be horrifying.” Maksudnya, dalam beberapa cerita keagamaan, orang-orang yang “disentuh” langsung oleh Tuhan justru mengalami rasa takut, penderitaan, bahkan trauma—bukan kedamaian seperti yang dibayangkan.

Film ini bikin kita sadar, bahwa iman itu pengalaman yang sangat personal. Dan kadang, pas kepercayaan itu diuji oleh hal-hal yang ga bisa dijelasin, rasanya bisa sangat mengganggu. Jadi, horor dalam Portrait of God bukan cuma soal hal yang nyeremin aja, tapi juga tentang ujian keyakinan seseorang terhadap Tuhannya yang sulit untuk dimengerti akal manusia.


Horor sebagai Penggugah Spiritualitas

Secara keseluruhan, Portrait of God ini bukti kalau film horor ga melulu soal hantu, darah, atau jumpscare. Lewat durasi yang cuma tujuh menit, film ini berhasil nunjukin kalau genre horor juga bisa jadi cara buat ngobrolin hal-hal yang “lebih dalam”—kayak iman, spiritualitas, dan rasa takut yang muncul dari dalam diri sendiri. Cerita dan karakternya kuat, visualnya sederhana tapi efek horornya maksimal banget. Jadi, walaupun ga ada jumpscare, film ini tetap bisa bikin penonton merinding ketakutan.

Filmnya cocok banget buat kamu yang lagi cari tontonan horor yang fresh—ga sekadar takut terus lupa. Kalo kamu suka mikir soal suatu hal secara meaningful kayak makna keimanan, kebenaran hidup, atau realitas yang kita percaya, film ini wajib ditonton. Soalnya Portrait of God ngajak kita mikir, bahwa hal paling menyeramkan kadang justru datang dari pikiran sendiri dan runtuhnya sebuah “kepercayaan”.

Baca review film horor lainnya di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *