Review Film Sore: Istri dari Masa Depan

Table of Contents

image 27 4
Sore

Film Sore: Istri dari Masa Depan adalah salah satu sajian layar lebar yang sukses mengaduk-aduk perasaan penonton dengan cara yang manis sekaligus magis. Disutradarai oleh Yandy Lauren, film ini diadaptasi dari serial web populer tahun 2017 dengan judul yang sama. Meski berdurasi hampir dua jam—tepatnya 1 jam 59 menit—jangan buru-buru ngira film ini akan terasa membosankan. Justru durasi tersebut terbayar lunas lewat cerita yang hangat, visual yang indah, dan atmosfer emosional yang melekat hingga kredit akhir bergulir.

Diproduksi sejak Maret 2024 hingga Februari 2025, pengambilan gambarnya berlangsung di tiga lokasi yang sama-sama memanjakan mata: Kroasia, Finlandia, dan Indonesia. Kombinasi latar ini membuat setiap adegan seperti potongan kartu pos yang hidup. Begitu tayang pada 10 Juli 2025, Sore: Istri dari Masa Depan langsung menggebrak box office Indonesia, penontonnya capai 2,8 juta di hari ke-28 tayang. Membuat film Sore berada di posisi ke-6 film Indonesia terlaris tahun ini. Rating-nya di situs IMDb 8.6/10 dari 1,4 ribu penonton dari dalam negeri. Lalu, apa rahasia di balik pesona film ini?

Cerita Film Sore yang Menyentuh dan Terstruktur

Sore: Istri dari Masa Depan mengajak kita masuk ke dunia Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer asal Indonesia yang tinggal di Kroasia. Kehidupan Jonathan yang tenang dan teratur tiba-tiba terguncang ketika muncul Sore (Sheila Dara), seorang perempuan misterius yang mengaku sebagai istrinya dari masa depan. Klaim ini tentu saja membuat Jonathan ragu, bahkan skeptis. Namun, perlahan tapi pasti, perhatian, kesabaran, dan cinta tulus dari Sore mulai meluluhkan hatinya. Sore tak hanya hadir untuk mencintai, tapi juga membantu Jonathan keluar dari kebiasaan buruk dan menjalani hidup yang lebih sehat.

Cerita ini dibungkus dengan konsep time looping yang dibagi menjadi tiga babak: Jonathan | Sore | Waktu. Struktur ini memudahkan penonton mengikuti perjalanan yang sebenarnya cukup rumit. Tiap babak fokus pada aspek berbeda, memberi ruang untuk memahami motivasi dan konflik setiap karakter. Bagi penonton yang pernah menyaksikan versi serialnya di YouTube, mungkin ada ekspektasi bahwa alurnya akan sama. Tapi Yandy Lauren memberikan “peningkatan level” besar-besaran—ceritanya lebih matang, konfliknya lebih dalam, dan efek emosi yang muncul terasa lebih kuat.

Baca juga: Mengenal Struktur 3 Babak ala Save The Cat oleh Blake Snyder.

Mise en Scene dan Musik yang Memikat

Salah satu kekuatan utama film ini terletak pada perpaduan visual dan musik yang harmonis. Dimas Bagus Triatma Yoga sebagai Director of Photography dan Dita Gambiro sebagai Production Designer sekaligus Art Director berhasil menciptakan tampilan mise en scène yang konsisten indah dari awal hingga akhir. Penataan cahaya, pemilihan warna, dan detail set membuat film ini bukan hanya enak ditonton, tapi juga memanjakan mata penikmat estetika sinema.

Tak hanya itu, pemilihan musiknya patut diacungi jempol. Lagu-lagu Adhitia Sofyan seperti “Forget Jakarta” dan “Gaze” serta karya Barasuara seperti “Pancarona” dan “Terbuang dalam Waktu” menambah kedalaman emosi di setiap adegan. Musiknya tidak sekadar menjadi latar, melainkan bagian dari cerita—mendorong emosi penonton untuk ikut larut dalam perjalanan Jonathan dan Sore.

Chemistry yang Menawan

image 27 5
Sore dan Jonathan

Bagi penggemar serialnya, Tika Bravani mungkin sudah terpatri sebagai sosok Sore yang ikonik. Namun, pemilihan Sheila Dara untuk versi layar lebarnya terbukti cerdas. Sheila tidak mencoba menjadi Tika, melainkan membangun interpretasinya sendiri—membawa karakter Sore ke arah yang segar, manis, dan mempesona. Karakter yang ia hadirkan terasa mendukung plot baru yang memang berbeda dari versi serial.

Dion Wiyoko, yang kembali memerankan Jonathan, juga menunjukkan performa luar biasa. Karakternya digambarkan dengan detail emosional yang memikat, terutama di momen ketika Jonathan berdamai dengan masa lalunya. Tambahan aktor Kroasia seperti Goran Bogdan (Karlo), Lara Nekic (Elsa), dan Livio Badurina (Marko) memberi sentuhan internasional yang memperkaya cerita.

Pesan yang Membekas

Meski mengandung elemen fantasi berupa time looping, film ini tetap menjejakkan kaki pada realitas. Pesan yang dibawa sangat membumi: ada hal-hal yang tak bisa diubah, seperti masa lalu, kematian, dan rasa sakit. Sebagaimana ucapan Marko dalam film, “Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai.” Pesan ini mengingatkan penonton bahwa kehidupan tidak selalu memberi kita kesempatan kedua, sehingga yang terpenting adalah menjalani dan mencintai sepenuh hati di saat ini.

Kompleksitas Time Looping yang Butuh Kesabaran

Keindahan Sore: Istri dari Masa Depan bukan berarti tanpa celah. Konsep time looping yang berulang bisa menjadi pedang bermata dua—di satu sisi memberi kedalaman cerita, di sisi lain berisiko membuat penonton merasa bosan jika tidak mengikuti dengan sabar. Film ini memang menuntut kesabaran ekstra, atau seperti yang dibilang, “sesabar Sore.” Tapi bagi penonton yang mau bertahan, reward yang diberikan di akhir cerita akan terasa memuaskan.

Surat Cinta Sinematik yang Layak Ditonton

Sore: Istri dari Masa Depan adalah “surat cinta” Yandy Lauren untuk penonton dan industri film Indonesia. Ia bukan hanya kisah romansa yang manis, tapi juga pengingat akan pentingnya mencintai di tengah keterbatasan waktu. Dengan visual yang memanjakan, musik yang menggugah, akting solid, dan pesan yang membekas, film ini pantas masuk daftar tontonan siapa pun yang mencari cerita penuh rasa.

Jadi, kalo kamu mau nonton film yang bisa bikin kamu senyam-senyum, termenung, bahkan mungkin banjir air mata, film ini rekomendasi buatmu! Jadi, gimana film Sore menurutmu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Got a film story to share? Submit your article, case study, or review now!