“Stuck” — Sebuah Alegori Sunyi tentang Keteguhan dan Ketegasan Moral
Film Stuck (2020) berdurasi singkat empat belas menit, karya terbaru David Mikalson sebagai penulis dan sutradara, membuka ruang kontemplatif yang sarat ketegangan dan kepedihan moral. Dengan latar satu lokasi yang nyaris tidak berubah, film ini menyingkap sisi gelap dunia yang seolah akrab namun sering dihindari: predator seksual yang beroperasi di ruang-ruang yang mestinya aman bagi anak-anak.
Alih-alih menempatkan korban sebagai pusat narasi, Mikalson memilih pendekatan yang lebih tenang namun menghunjam—melalui perspektif seorang guru gimnastik yang terluka, secara harfiah maupun batin, tapi tetap berdiri tegak sebagai satu-satunya garis pertahanan bagi murid-muridnya. Film Stuck dapet rating 6.6/10 dari 295 penontonnya di platform IMDb. Berikut beberapa hal yang menarik perhatian:
Tubuh yang Luka, Jiwa yang Teguh
Film Stuck dibuka pada pagi yang sunyi, ketika sang guru—dengan langkah pincang akibat cedera masa lalu—memasuki gedung latihan yang masih kosong. Langkahnya berat namun pasti, mencerminkan riwayat panjang sebagai atlet dan kini sebagai pelindung. Di luar gedung, seorang pria paruh baya yang mencurigakan duduk di dalam mobil, berpura-pura sakit melalui sambungan telepon. Ketika sang guru mendekatinya dan menanyakan keperluannya, pria itu berdalih sebagai wali murid. Namun kehadirannya yang berulang di dua kelas berbeda membuat sang guru segera membaca niat busuk yang tersamar tipis.
Kekerasan tak langsung muncul, namun atmosfirnya menebal. Setelah mengusir pria tersebut, sang guru kembali ke dalam gedung dan mulai mempersiapkan sesi latihan—menata alat, memastikan segalanya pada tempatnya. Murid-murid mulai berdatangan, dan suasana perlahan bergeser menjadi riuh dengan semangat remaja yang masih polos. Tapi di bawah kegembiraan itu, ancaman belum sirna.
Ketegangan yang Disulam dengan Ketelitian
Adegan bergulir dengan ritme yang terukur. Kamera mengikuti gerak sang guru dengan ketekunan yang hampir meditatif—memeriksa peralatan, memberi instruksi, dan melatih murid-muridnya dengan ketegasan seorang yang mencintai profesinya. Hingga satu momen kecil, hampir luput: sebuah matras terbuka sedikit pada sisi ritsletingnya, memperlihatkan sepasang mata yang menyala dengan hasrat menjijikkan.
Tidak ada letupan emosi. Tidak ada teriakan. Yang terjadi justru adalah tindakan sunyi tapi brutal—sang guru menutup kembali ritsleting itu dari luar, lalu memerintahkan para murid untuk melakukan lompatan di atasnya. Dentuman tubuh demi tubuh menimpa matras itu. Musik diputar dari ponsel sang guru, bukan sebagai penyemangat, tapi sebagai selimut kebisingan yang menutup desah kesakitan di bawah sana.
Adegan ini mencapai klimaks ketika sang guru sendiri melompat dan mendaratkan kakinya tepat di kepala pria tersebut. Darah mulai meresap keluar. Tubuh sang predator remuk di bawah berat anak-anak yang tak menyadari keberadaannya. Setelah latihan usai, sang guru membersihkan noda darah, menggulung matras, dan membuangnya—beserta tubuh pria itu—ke tempat sampah.
Dilema Etis dalam Bingkai Sinematik yang Ketat
Dalam dunia sinema modern yang kerap menempatkan anti-hero sebagai pusat kekaguman, Film Stuck menghadirkan satu yang lain—karakter yang tidak mencari pembenaran atas kekerasannya, tetapi yang bertindak karena diam berarti kalah. Film ini bukan tentang balas dendam, melainkan tentang proteksi yang lahir dari amarah tenang dan kepedulian sejati.
Produksi film ini tidak mencolok secara teknis, tapi justru kekuatan itulah yang membuatnya menghantam lebih dalam. Set yang minimalis, pergerakan kamera yang presisi, serta efek praktis yang digunakan pada tubuh pria cabul memberikan sentuhan realistis yang mengganggu. Matras “see-through” adalah simbol pengkhianatan terhadap ruang aman, dan Mikalson tahu betul bagaimana memanfaatkannya sebagai medium horor psikologis.
Film Pendek, Dampak Panjang
Stuck adalah karya yang melampaui batasan durasi. Ia tidak hanya mengangkat isu penting, tetapi juga membungkusnya dalam sinema yang tajam dan penuh empati. Sebuah film yang tahu apa yang ingin disampaikan, dan menyampaikannya dengan bisikan yang lebih menusuk daripada teriakan. Film seperti ini layak mendapat ruang lebih luas—bukan hanya sebagai peringatan, tetapi sebagai perlawanan terhadap diam yang mematikan. Kalo kamu udah nonton, ditunggu ulasannya di kolom komentar ya!
Baca juga review film dengan berbagai genre lainnya di sini.