*SPOILER ALERT!— Hadir sebagai film yang coba bawain nuansa drama hukum modern ke perfilman Indonesia. Ceritanya tentang Jojo (Arifin Putra), seorang hakim muda yang balik ke kampung halamannya setelah dihantui sama masa lalunya yang kelam—terutama kasus korupsi dan bunuh diri ayahnya yang juga seorang hakim. Bukannya hidup tenang, kepulangnya justru nyeret dia ke dalam dunia perdagangan manusia. Dibantu rekannya Abigail (Prisia Nasution), mereka ngusahain tegaknya keadilan, meski nyawa dan keluarganya terus dapet ancaman.
Secara umum, respon penonton Sang Pengadil cukup beragam. Ada yang ngasih dukungan atas keberaniannya buat bawain isu hukum yang rumit, tapi ga sedikit juga yang merasa eksekusinya kurang rapih dan ceritanya ngelebar kemana-mana.
Walaupun banyak yang ngeliat film ini sebagai langkah maju buat genre hukum di Indonesia, kritik utamanya tetap soal genre yang kurang jelas dan pengembangan karakter yang kureng.
Mau Bikin Epik, Tapi Kurang Fokus
Sebagai film yang ngangkat tema hukum, Sang Pengadil punya ambisi besar. Sayangnya, dalam eksekusi kurang rapih. Film ini berusaha campurin drama hukum, aksi, dan misteri, tapi hasil akhirnya malah melebar dan jadi kehilangan fokus.
Salah satu masalah utama Sang Pengadil adalah fokus utama dalam nentuin genre. Kalo dibandingin sama film atau serial hukum lain kayak The Trial of the Chicago 7 atau Better Call Saul, Sang Pengadil jadi terlihat ga punya identitas yang jelas. Ini drama hukum murni? Film aksi dengan sentuhan hukum? Atau thriller investigasi? Akhirnya, cerita keliatan dipaksain dan jadi ke mana-mana.
Ada beberapa bagian yang terasa ga masuk akal:
- Dua hakim muda yang bertindak layaknya “vigilante“, mirip Daredevil, tapi terasa kurang realistis buat sistem hukum di Indonesia.
- Hakim yang punya dua panitera (salah satunya sepupunya sendiri) yang juga merangkap sebagai investigator.
- Karakter pendukung yang terlalu lebay buat comic relief, sampai ngerusak tone serius di film ini.
- Karakter sampingan yang useless karna ga jadi penguatan buat alur film.
Teknisnya Masih Berantakan
Dari sisi teknis, Sang Pengadil rasanya kayak film yang diproduksi buru-buru. Beberapa hal yang bisa diliat:
- Editing yang kurang rapi, ada jump cut yang terasa aneh dan bikin transisi jadi ga nyaman diliat.
- Sudut pengambilan gambar kurang efektif, jadi bikin banyak momen dramatis yang kehilangan impact-nya.
- Kualitas audio yang seadanya, jadi ga bisa bangun atmosfer dalam film.
- Bukti persidangan berupa video TikTok diputar, tapi masih ada overlay UI kamera.
Hal-hal kayak gini harusnya bisa lebih diperhatikan supaya film terasa lebih solid.
Akting: Main Cast Oke, Pendukung Kurang Greget
Untuk akting, Arifin Putra dan Prisia Nasution cukup berhasil bawain karakter mereka. Sayangnya pemeran pendukungnya malah jadi terlihat gagal buat memperkuat alur cerita. Ketua Pengadilan Negeri ga bisa buat karakter yang kontras bagi protagonis, karna dialognya sama Jojo cuma ngasih peringatan tanpa ngasih liat gimana ketua pengadilan negeri berpolitik. Ini justru lebih mirip petugas BMKG yang selalu ngasih pengirangatan tentang bencana alam, bedanya ini bencana keadilan.
Sebagai film bertema hukum, Sang Pengadil sebenarnya punya potensi besar buat ngembangin genre ini di Indonesia. Sayangnya, naskah yang dikerjakan empat orang dan disutradarai oleh dua orang, justru bikin film ini jadi kehilangan arah. Bukannya fokus ke elemen hukum, malah lebih dominan ke drama aksi yang keliatan berlebihan, mungkin demi menarik lebih banyak penonton.
Meskipun ada banyak kekurangan, Sang Pengadil tetap bisa dibilang langkah awal yang oke buat genre hukum di Indonesia. Semoga ke depannya bakal ada lebih banyak film hukum yang dieksekusi dengan lebih matang, ceritanya lebih solid, dan lebih detail lagi dari segi teknis maupun penceritaannya.
Kalo menurut kamu gimana dengan film hukum ini?