
28 Years Later, sekuel dari film horor zombie “28 Days Later (2002)” kembali berlanjut dalam sekuel karya Alex Garland, di bawah arahan Danny Boyle. Dengan durasi 1 jam 55 menit, film ini menyajikan sudut pandang segar tentang kehidupan pasca-apokaliptik, menyorot drama keluarga serta renungan mendalam seputar kehilangan, cinta, dan ketakutan akan kematian. Selain menawarkan sudut pandang segar pada genre horor, penggunaan kamera iPhone selama proses produksinya menambah sentuhan eksperimental—sebuah langkah yang memikat sekaligus menantang, menjadikan hadirnya pertanyaan: apakah gaya sinematografi ini akan memperkaya pengalaman menonton atau justru malah mengganggu keutuhan narasi?
Sinopsis dan Kedalaman Tema Film yang Berani

Filmnya dibuka dengan suasana damai yang seketika berubah mencekam—sekelompok anak-anak tengah menonton episode Teletubbies di televisi ketika tiba-tiba gerombolan zombie menerobos masuk dan membantai mereka tanpa ampun. Dari pembantaian brutal itu, hanya satu anak bernama Jimmy yang berhasil melarikan diri. Ia berlari ke gereja untuk mencari perlindungan dari ayahnya, seorang pendeta. Namun, bukannya menyelamatkan anaknya, sang ayah justru mengartikan kedatangan para zombie sebagai penggenapan nubuat Alkitab. Pada akhirnya, ia pun ikut menjadi korban keganasan zombie, sementara Jimmy berhasil bersembunyi. Cerita pun melompat 28 tahun setelah peristiwa mengerikan itu.
Di titik inilah kita diperkenalkan pada tokoh utama, Spike (Alfie Williams), seorang anak berusia 12 tahun yang tengah bersiap menjalani perburuan pertamanya bersama sang ayah, Jamie (Aaron Taylor-Johnson). Mereka tinggal di Holy Island, sebuah pulau karantina yang terletak di Northumberland. Di pulau itu pula, mereka hidup bersama Isla (Jodie Comer), ibu Spike, yang menderita migrain parah disertai halusinasi dan hanya mampu berbaring lemah di tempat tidur. Perburuan pertama Spike menjadi pembuka yang epik—penuh ketegangan dan nuansa horor. Dalam adegan ini, penonton disuguhi beragam jenis zombie: dari yang bertampang menjijikkan, berbadan gemuk, berjalan lamban, berukuran besar, bergerak cepat, sampai berotak cerdas—dikenal dengan nama Alpha.
28 Years Later dengan berani menanggalkan pola klasik film zombie yang biasanya hanya berkutat pada tema survival. Alih-alih, film ini memilih jalur berbeda dengan mengangkat tema yang lebih humanis, sesuatu yang jarang ditemui dalam genre ini. Zombie dalam film ini menjadi simbol dari perilaku manusia yang kehilangan moral dan hanya digerakkan oleh kemarahan (rage) serta emosi negatif yang merusak.
Perjalanan Spike dan Isla dalam mencari rumah sakit untuk mengobati penyakit Isla menjadi arus utama petualangan yang menegangkan. Sepanjang perjalanan ini, mereka mengalami berbagai peristiwa yang mendebarkan. Melalui perjalanan inilah, penonton disuguhi gambaran visual dunia pasca-apokaliptik yang dirancang dengan cermat oleh Boyle—sebuah dunia yang suram, brutal, namun tetap memikat secara visual.
Harmoni Elemen Teknis yang Mengagumkan

Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan. Danny Boyle bersama sinematografer Anthony Dod Mantle berhasil menyuguhkan tampilan visual yang memikat melalui penggunaan kamera iPhone 15 Pro Max. Tak bisa disangkal, visualisasi dalam film ini justru menjadi salah satu kekuatan utama sekaligus daya tarik yang menjanjikan bagi penonton.
Teknik pengambilan gambar yang dinamis, ritme editing yang cepat dan khas, pencahayaan dengan kontras tinggi, serta desain suara yang menegangkan, semuanya berpadu menciptakan atmosfer dunia pasca-apokaliptik yang brutal namun tetap artistik. Setiap adegan menyajikan perpaduan visual dan audio yang harmonis dan sarat nilai estetis. Film ini tidak hanya menggambarkan kehancuran dunia, tetapi juga mengajak penonton merasakan kegilaan, keputusasaan, dan kehampaan yang mengendap di dalamnya.
Performa Akting yang Kuat

Performa para aktor dalam 28 Years Later layak untuk mendapatkan pujian lewat award. Aaron Taylor-Johnson berhasil membawakan karakter Jamie dengan penuh kekuatan dan daya tarik, sementara Jodie Comer memperlihatkan sisi rapuh Isla secara fisik tanpa menghilangkan keteguhan tekadnya. Ralph Fiennes memperkaya film dengan karakter Doctor Kelson yang rumit dan misterius, sedangkan Alfie Williams memerankan Spike dengan kepolosan alami yang berpadu sempurna dengan keberanian dan kenekatannya.
Usai rentetan adegan yang brutal dan menegangkan, 28 Years Later membuat penontonnya masuk ke dalam sebuah momen reflektif yang terasa magis, damai, dan tenang. Dalam pertemuannya dengan Doctor Kelson di sebuah kuil penuh monumen kematian, Spike diperkenalkan pada konsep “Memento Mori.” Momen ini menjadi titik balik pemahaman Spike akan makna kematian—bukan sebagai akhir yang menakutkan, tetapi sebagai sesuatu yang layak direnungi, bahkan dirayakan. Disusun dengan sentuhan puitis dan visual yang menyentuh, adegan ini memancarkan keindahan sekaligus kesedihan yang mendalam.
Pada akhirnya, 28 Years Later tampil sebagai film yang berani, kelam, dan penuh daya pikat. Karya ini berhasil memadukan unsur horor zombie dengan kisah keluarga dan pesan kemanusiaan yang menyentuh. Film ini tak sekadar membicarakan cara bertahan hidup di tengah kehancuran, melainkan juga menyuguhkan narasi tentang kemampuan manusia untuk beradaptasi dan tumbuh dalam situasi ekstrem, sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah sajian yang relevan bagi penonton yang menghargai horor, drama, dan keberanian sinema dalam bereksperimen.
Setelah nonton 28 Years Later, mungkin kamu juga bakalan jadi dipaksa mikirin “kalo dunia runtuh hari ini, apa yang akan kita perjuangkan untuk memutuskan tetap bertahan hidup?”
Baca ulasan film genre horor dan lainnya di sini.