Review Film Sang Pengadil (2024)

Sang Pengadil: Film Drama Hukum Indonesia dengan Eksekusi Kurang Matang

Sang Pengadil hadir sebagai film yang berusaha membawa nuansa drama hukum modern ke dalam industri perfilman Indonesia. Film ini berkisah tentang Jojo (Arifin Putra), seorang hakim muda yang kembali ke kampung halamannya setelah dihantui oleh masa lalu kelam—terutama kasus korupsi dan bunuh diri ayahnya yang juga seorang hakim. Namun, kepulangannya justru membawanya ke dalam lingkaran perdagangan manusia. Dengan bantuan koleganya, Abigail (Prisia Nasution), Jojo berusaha menegakkan keadilan, meskipun nyawanya dan keluarganya terancam oleh kekuatan gelap yang mengintai.

Ambisi Besar, Eksekusi Kurang Fokus

Sebagai salah satu film panjang bertema hukum, Sang Pengadil memiliki ambisi besar dalam membangun narasi yang kuat. Namun, eksekusinya terasa kurang terarah. Film ini mencoba menggabungkan elemen drama hukum, aksi, dan misteri, tetapi hasil akhirnya terasa terlalu melebar dan kehilangan fokus utama.

Kelemahan dalam Penceritaan

Salah satu kekurangan utama dari Sang Pengadil adalah ketidaktegasan dalam menentukan genre utama. Jika dibandingkan dengan film atau serial bertema hukum seperti The Trial of the Chicago 7 atau Better Call Saul, film ini tampak belum memiliki identitas yang jelas. Apakah ini drama hukum murni? Film aksi dengan unsur hukum? Atau justru thriller investigasi? Akibatnya, plot terasa dipaksakan dan melebar ke berbagai arah sehingga intensitas ceritanya tidak terjaga.

Beberapa aspek yang kurang masuk akal antara lain:

  • Dua hakim muda yang berperan layaknya “vigilante”, mengingatkan pada karakter seperti Daredevil, namun terasa kurang realistis dalam konteks hukum Indonesia.
  • Hakim yang memiliki dua panitera, salah satunya adalah sepupunya sendiri, dan keduanya juga berperan sebagai investigator.
  • Karakter pendukung yang terlalu karikatural sebagai comic relief, sehingga merusak tone serius yang ingin dibangun.
  • Karakter sampingan yang datar, hanya berfungsi untuk mendukung atau menentang protagonis tanpa pengembangan yang mendalam.

Kelemahan dari Segi Teknis

Dari segi teknis, Sang Pengadil terasa seperti film yang terburu-buru dalam proses produksinya. Beberapa kekurangan yang mencolok antara lain:

  • Editing yang kurang rapi dengan jump cut aneh dan komposisi visual yang kurang nyaman.
  • Sudut pengambilan gambar yang kurang efektif sehingga mengurangi dampak dramatis.
  • Kualitas audio yang seadanya, tidak memberikan atmosfer yang cukup kuat.

Salah satu adegan yang kurang diperhatikan secara teknis adalah saat bukti berupa video TikTok diputar di persidangan, tetapi masih menampilkan overlay UI kamera. Detail kecil seperti ini menunjukkan kurangnya perhatian terhadap aspek teknis yang seharusnya bisa lebih diperhatikan.

Akting Para Pemain

Dari segi performa, Arifin Putra dan Prisia Nasution cukup berhasil membawakan karakter mereka dengan baik. Namun, para pemeran pendukung terasa kurang meyakinkan. Ketua Pengadilan Negeri, yang seharusnya menjadi karakter penyeimbang atau foil bagi protagonis, justru hanya menyampaikan dialog tanpa bobot emosional atau intelektual yang kuat.

Kesimpulan: Potensi Besar yang Perlu Ditingkatkan

Sebagai film bertema hukum, Sang Pengadil memiliki potensi besar dalam mengembangkan genre ini di Indonesia. Sayangnya, dengan naskah yang ditulis oleh empat orang dan disutradarai oleh dua orang, film ini mengalami krisis identitas. Demi menjangkau audiens yang lebih luas, film ini malah kehilangan esensi hukum yang ingin dibangun, berubah menjadi drama aksi yang terasa berlebihan.

Meskipun memiliki kelemahan yang cukup signifikan, Sang Pengadil tetap bisa menjadi pijakan awal bagi perkembangan genre hukum di Indonesia. Diharapkan ke depannya ada lebih banyak film bertema hukum yang dieksekusi dengan lebih matang, memiliki narasi yang solid, serta perhatian lebih pada detail teknis dan penceritaan yang konsisten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *